Thursday, January 28, 2016

Riwayat Singkat KH. Abdul Qodir Hasan, Sang Ulama Pembimbing Umat

Tuan Guru KH. Abdul Qodir Hasan

Pimpinan Pondok Pesantren Darussalam Martapura Periode Keempat (Tahun 1940 s/d 1959)
KH. Abdul Qodir Hasan dilahirkan pada tahun 1891 di Kampung Tunggul Irang Martapura. Beliau dikenal sebagai sesepuh di Pondok Pesantren Darussalam dan seringkali dipanggil dengan sebutan Guru Tuha. Beliau adalah orang yang menjadi tangan kanan KH. Muhammad Kasyful Anwar saat menjabat sebagai Pimpinan PP.Darussalam tahun 1922 s/d 1940 dan kemudian menggantikan sebagai pimpinan setelah KH.  Muhammad Kasyful Anwar wafat dari tahun 1940 s/d 1959.


Pendidikan :

Beliau mengaji di Martapura diantaranya adalah dengan KH. AbdurRahman (Guru Adu) Tunggul Irang, dan KH. Muhammad Kasyful Anwar. Beliau juga mengaji keluar daerah, seperti di Pulau Madura dengan KH.Kholil Bangkalan, dan di Pulau Jawa dengan KH. Hasyim Asy'ari Tebuireng Jombang (pendiri Nahdlatul Ulama/NU), dan sempat pula belajar di kota Makkah Al Mukarramah.

KH. Abdul Qodir Hasan termasuk murid yang paling disayangi oleh KH. Hasyim Asy'ari dan dipercaya untuk mendirikan cabang Nahdlatul Ulama (NU) pertama di luar Pulau Jawa yakni di Kota Martapura setelah mengikuti Muktamar NU pertama tanggal 21 Oktober 1926 di Surabaya. Dari kota Martapura inilah Beliau mendirikan dan melantik cabang-cabang organisasi NU di beberapa wilayah di Pulau Kalimantan sebagai rais syuriah pada masa itu. Di masa kepemimpinannya sebagai pimpinan pondok dan rais NU, Beliau melaksanakan pertemuan rutin setiap bulan di aula pondok Darussalam yang dihadiri oleh seluruh tuan-tuan guru yang ada di kota Martapura dan sekitarnya untuk membahas persoalan agama yang timbul di masyarakat (Bahtsul Masa'il) dan ditutup dengan tahlilan, acara ini disebut dengan istilah Lailatul ijtima. Hasil forum bahtsul masail ini kemudian disebarkan kepada masyarakat sebagai solusi terhadap berbagai persoalan keagamaan dan sosial yang terjadi di masyarakat.

Sejak pimpinan KH. Muhammad Kasyful Anwar sampai pimpinan KH. Abdul Qodir Hasan, banyak guru pengajar di Darussalam yang ditugaskan untuk berdakwah dan mengajar agama Islam keluar daerah seperti Sampit, Pontianak, Kota Waringin, Kotabaru, Purukcahu dan daerah di luar Kal-Sel lainnya. Para guru yang dikirim tersebut bermukim di tempat-tempat tersebut dan lalu mendirikan madrasah/pesantren-pesantren yang berafiliasi dengan Pondok Pesantren Darussalam Martapura.

Pada masa pendudukan Jepang Pondok Pesantren Darussalam dipaksa untuk menjadi asrama tentara Jepang, namun oleh Beliau proses belajar mengajar masih tetap terus dijalankan dengan disebarkan di rumah-rumah guru pengajar dan terus istiqomah kegiatan sekolah dijalankan seperti itu hingga Jepang keluar dari Martapura tahun 1945. 

Pada masa revolusi kemerdekaan Beliau bertindak sebagai sesepuh gerakan gerilya di Kalimantan, memberikan semangat dan kekuatan moril bagi para pejuang gerilya yang berusaha mengusir tentara Belanda yang kembali hendak menjajah tanah air. Pada tahun selanjutnya, awal kemerdekaan RI beliau turut aktif memulihkan keamanan bersama-sama dengan almarhum KH. Zainal Ilmi Dalam Pagar Martapura.
KH. Abdul Qodir Hasan wafat pada hari Sabtu, tanggal 11 Rajab 1398 H / 17 Juni 1978 M. Tempat pemakaman beliau di Kubah KH. Abdul Qodir Hasan di Jalan K.H.M. Kasyful Anwar Pasayangan Martapura.

Wednesday, January 27, 2016

Riwayat Singkat KH.Muhammad Kasyful Anwar

Tuan Guru KH.Muhammad Kasyful Anwar Al Banjari

Sejarah Singkat

Tuan Guru KH. Muhammad Kasyful Anwar Al Banjari dilahirkan di Kampung Melayu pada malam selasa tanggal 4 Rajab 1304 H jam 22.00 malam,dari pasangan KH.Ismail bin KH. Muhammad Arsyad bin Muhammad Sholeh bin Badruddin bin Kamaluddin dan Hj.Siti binti H.Abdurrahim bin Abu Su’ud bin Badruddin bin Kamaluddin pasangan yang serasi lagi bertaqwa,sejak kecil beliau sudah medapatkan pendidikan di lingkungan keluarga, seperti belajar Al-Qur’an karena pendidikan seperti ini lazim dikalangan masyarakat Banjar pada masa itu, diantara guru gurunya yang juga keluarganya adalah :
  • KH.Ismail bin H.Ibrahim bin Muhammad Sholeh bin Khalifah Zainuddin bin Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari
  • Syekh Abdullah Khotib bin H.Muhammad Sholeh bin Khalifah Hasanuddin bin Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari

Setelah melihat kecerdasannya, kakeknya yaitu H. Muhammad Arsyad dan neneknya Hj. Siti Aisyah mengirimnya ke kota suci sumber ilmu Makkatul Mukarramah untuk meneruskan pelajarannya. Pada tahun 1313 H berangkatlah Beliau beserta seluruh keluarganya ke Tanah Suci Mekkah, sesampainya dinegeri Mekkah ia sangat rajin menuntut ilmu baik kepada ayahnya sendiri maupun kepada ulama lainnya, Beliau belajar bahasa arab kepada H. Amin bin Qadhi Haji Mahmud bin Aisyah binti Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari beliau lama menetap di Mekkah, sewaktu dua tahun berada di Mekkah ayah beliau wafat dan dimakamkan di Mekkah dan dimakamkan di Ma’la, saat itu umurnya baru 11 tahun, pada umur 13 tahun ibunya menyusul ayahnya wafat di Mekkah dan dimakamkan di Ma’la sepekuburan dengan bapaknya,setelah itu beliau hanya tinggal bersama kakek dan neneknya yang selalu merawatnya.
Diantara guru guru beliau adalah:
  1. Syeikh Umar Hamdan al-Mahrus yang bergelar Muhaddist al-Haramain
  2. Syeikh Muhammad Yahya al-Yamani
  3. Syeikh Said bin Muhammad al-Yamani
  4. Syeikh Sayyid Ahmad bin Syeikh Sayyid Abu Bakar bin Syeikh Sayyid al-Arif Billah sayyid Muhammad Syatha
  5. Syeikh Sayyid Ahmad bin Hasan al-'Atthos penulis kitab Tadzikirunnas
  6. Syeikh Muhammad Ali bin Husein al-Maliki bergelar Sibawaihi karena kealimannya
  7. Syeikh Umar Ba Junaid Mufti Syafiiyyah
  8. Syeikh Muhammad Sholeh bin Muhammad Ba Fadhal
  9. Syeikh Muhammad Ahyad al-Bughuri
  10. Syeikh Sayyid Muhammad Amin al-Kutbi

Setelah 17 tahun belajar di Mekkah akhirnya pada bulan Rabiul Awwal Tahun 1330 H ia kembali ke Tanah Air, setelah tiba di Tanah air beliau dikawinkan oleh kakek neneknya dengan seorang perempuan sholehah bernama Halimah binti Ja’far pada bulan Syawwal 1330 H pada usia 26 tahun. Beliau dikaruniai anak 6 orang 4 putra 2 putri, setelah menerapkan ilmu selama 20 tahun di kampung halaman pada tahun 1350/1930 M beliau berangkat lagi keTanah Suci bersama istri dan 2 orang anaknya beserta dua orang keponakannya yaitu Anang Sya'rani dan Muhammad Syarwani Abdan (Bangil) yang nantinya sangat terkenal di Tanah Suci sebagai Dua Mutiara dari Banjar, keberangkatannya kali ini selain untuk memperdalam ilmu agama juga untuk membimbing anak dan kedua keponakannya. Beliau bermukim selama 3 tahun,pada 17 Shofar 1353 H beliau kembali ke Martapura sedangkan dua keponakanna tetap tinggal di Tanah Suci meneruskan pendidikannya.

Dirumahnya beliau membuka pengajian atas permintaan masyarakat,kemudian pada tahun 1922 M ia tampil memimpin Madrasah Darussalam pada periode ke 3, kepribadian beliau sangat sederhana, tanpa henti beliau mendidik murid muridnya,begitulah kehidupan pribadi seorang ‘alimul jalil ulama yang memegang teguh disiplin ilmu dan kemasyarakatan,ilmu dan amal baginya jalan untuk meningkatkan ketaqwaan, harta tidak boleh memperbudaknya tetapi hartalah yang harus menjadi budaknya untuk menunjang segala amal kita dijalan Allah dan beliau tetap tersenyum walaupun hidup dalam kesederhanaan,bahkan dikatakan masih kekurangan untuk mencukupi keperluannya sehari hari, namun beliau selalu bersikap qona'ah (merasa cukup dengan nikmat yang telah diberikan Allah Subhaanahu wata'aala) serta bersikap ikhlas fii sabilillah dalam setiap keaadaan.

Akhirnya pada malam senin pukul 9.45 menit tanggal 18 syawwal 1359 H rohnya yang mulia kembali kepada Rabb nya yang Maha Tinggi dengan tenang dan damai pada usia 55 tahun dan dimakamkan di Kampung Melayu Martapura, Semoga Allah SWT membalas segala amal ibadah beliau dan dikumpulkan dengan Rasulullah Saw dan orang orang sholeh sebelum beliau. Aamiiiiiin.

Tuesday, January 26, 2016

Manaqib Singkat Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari (Datu Kelampayan)

Manaqib Singkat Syekh Muhammad Arsyad Bin Abdullah Al-Banjari (Datu Kelampayan)



Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.


Beliau dilahirkan di desa Lok Gabang pada hari kamis dinihari 15 Shofar 1122 H, bertepatan 19 Maret 1710 M. Anak pertama dari keluarga muslim yang taat beragama , yaitu Abdullah dan Siti Aminah. Sejak masa kecilnya Allah SWT telah menampakkan kelebihan pada dirinya yang membedakannya dengan kawan sebayanya. Dimana dia sangat patuh dan ta’zhim kepada kedua orang tuanya, serta jujur dan santun dalam pergaulan bersama teman-temannya. Allah SWT juga menganugrahkan kepadanya kecerdasan berpikir serta bakat seni, khususnya di bidang lukis dan khat (kaligrafi).

Pada suatu hari, tatkala Sultan Kerajaan Banjar (Sultan Tahmidullah) mengadakan kunjungan ke kampung-kampung, dan sampailah ke kampung Lok Gabang alangkah terkesimanya Sang Sultan manakala melihat lukisan yang indah dan menawan hatinya. Maka ditanyakanlah siapa pelukisnya, maka dijawab orang bahwa Muhammad Arsyad lah sang pelukis. Mengetahui kecerdasan dan bakat sang pelukis, terbesitlah di hati sultan keinginan untuk mengasuh dan mendidik Muhammad Arsyad kecil di istana yang ketika itu baru berusia ± 7 tahun.

Sultanpun mengutarakan goresan hatinya kepada kedua orang tua Muhammad Arsyad. Pada mulanya Abdullah dan istrinya merasa enggan melepas anaknya yang tercinta. Tapi demi masa depan sang buah hati yang diharapkan menjadi anak yang berbakti kepada agama, negara dan orang tua, maka diterimalah tawaran sultan tersebut. Kepandaian Muhammad Arsyad dalam membawa diri, sifatnya yang rendah hati, kesederhanaan hidup serta keluhuran budi pekertinya menjadikan segenap warga istana sayang dan hormat kepadanya. Bahkan sultanpun memperlakukannya seperti anak kandung sendiri.

Setelah dewasa beliau dikawinkan dengan seorang perempuan yang solehah bernama tuan “BAJUT”, seorang perempuan yang ta’at lagi berbakti pada suami sehingga terjalinlah hubungan saling pengertian dan hidup bahagia, seiring sejalan, seia sekata, bersama-sama meraih ridho Allah semata. Ketika istrinya mengandung anak yang pertama, terlintaslah di hati Muhammad Arsyad suatu keinginan yang kuat untuk menuntut ilmu di tanah suci Mekkah. Maka disampaikannyalah hasrat hatinya kepada sang istri tercinta.
Meskipun dengan berat hati mengingat usia pernikahan mereka yang masih muda, akhirnya sang istri mengamini niat suci sang suami dan mendukungnya dalam meraih cita-cita. Maka, setelah mendapat restu dari sultan berangkatlah Muhammad Arsyad ke Tanah Suci mewujudkan cita-citanya. Deraian air mata dan untaian do’a mengiringi kepergiannya.

Di Tanah Suci, Muhammad Arsyad mengaji kepada masyaikh terkemuka pada masa itu. Diantara guru beliau adalah Syekh ‘Athoillah bin Ahmad Al-Mishry, al Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman Al-Kurdi dan al ‘Arif Billah Syekh Muhammad bin AbdulKarim Al-Qodiri Al-Hasani As-Sammani Al-Madani.
Syekh yang disebutkan terakhir adalah guru Muhammad Arsyad di bidang tashowwuf, dimana di bawah bimbingannyalah Muhammad Arsyad melakukan suluk dan khalwat, sehingga mendapat ijazah darinya dengan kedudukan sebagai kholifah, bahkan kholifah muthlaq (Nomor 1 dari sekian ribu muridnya Sayyid Muhammad As-Samman)

Menurut riwayat, Kholifah Sayyid Muhammad As-Samman di Indonesia pada masa itu, hanya empat orang, yaitu Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Syekh AbdusShomad Al-Falembani (Palembang), Syekh Abdul Wahhab Bugis dan Syekh AbdurRahman Mishri (Betawi). Mereka berempat dikenal dengan “Empat Serangkai dari Tanah Jawi” yang sama-sama menuntut ilmu di Al-Haramain As-Syarifain.
Setelah lebih kurang 35 tahun menuntut ilmu, timbullah kerinduan akan kampung halaman. Terbayang di pelupuk mata indahnya tepian mandi yang diarak barisan pepohonan aren yang menjulang. Terngiang kicauan burung pipit di pematang dan desiran angin membelai hijaunya rumput. Terkenang akan kesabaran dan ketegaran sang istri yang setia menanti tanpa tahu sampai kapan penentiannya akan berakhir. Pada Bulan Ramadhan 1186 H bertepatan 1772 M, sampailah Muhammad Arsyad di kampung halamannya Martapura pusat Kerajaan Banjar pada masa itu.

Sultan Tamjidillah (Raja Banjar) menyambut kedatangan beliau dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyatpun mengelu-elukannya sebagai seorang ulama “Matahari Agama” yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kerajaan Banjar. Aktivitas beliau sepulangnya dari Tanah Suci dicurahkan untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Baik kepada keluarga, kerabat ataupun masyarakat pada umumnya. Bahkan, sultanpun termasuk salah seorang muridnya sehingga jadilah dia raja yang ‘alim lagi wara’.

Dalam menyampaikan ilmunya Syekh Muhammad Arsyad mempunyai beberapa metode, di mana antara satu dengan yang lain saling menunjang. Adapun metode-metode tersebut, yaitu:
  • Bil-hal
Keteladanan yang baik (uswatun hasanah)yang direfleksikan dalam tingkah-laku, gerak-gerik dan tutur-kata sehari-hari dan disaksikan secara langsung oleh murid-murid beliau.
  • Bil-lisan
Dengan mengadakan pengajaran dan pengajian yang bisa diikuti siapa saja, baik keluarga, kerabat, sahabat dan masyarakat lainnya.
  • Bil-kitabah
Menggunakan bakat yang beliau miliki di bidang tulis-menulis, sehingga lahirlah lewat ketajaman penanya kitab-kitab yang menjadi pegangan umat. Buah tangannya yang paling monumental adalah kitab Sabilal Muhtadin Littafaqquhi Fii Amriddin, yang kemasyhurannya menyelimuti bumi melayu, sampai ke Malaysia, Brunei dan Pattani (Thailand selatan).
Setelah ± 40 tahun mengembangkan dan menyiarkan Islam di wilayah Kerajaan Banjar, akhirnya pada hari selasa, 6 Syawwal 1227 H (1812 M) Allah Subhaanahu Wata'aala memanggil Syekh Muhammad Arsyad ke hadirat-Nya. Usia beliau 105 tahun dan dimakamkan di desa Kalampayan, sehingga beliau juga dikenal dengan sebutan Datu Kalampayan.